cerpen ini ku tulis dengan penuh harapan dan cinta untuk seseorang yang ku nanti :)
semoga bermanfaat.
LOVE IS UNPREDICTABLE
Awan
mendung pagi ini membuat ku malas untuk bangkit dari tempat tidur. Aku
periksa pesan di handphone. Ku dapati audio yang dikirimkan oleh Yusuf
malam tadi. Isi pesannya masih sama seperti kemarin, aku mencintai mu.
Tanpa sadar aku mengembangkan senyuman lebar dibibirku, bahagia. Dan ku
balas aku juga mencintai mu.
Yusuf, seandainya kamu seorang muslim mungkin semua tidak akan serumit ini. Dering handphone membuyarkan lamunan ku, Imel.
“Apa?”, jawab ku malas.
“Jadi kan pergi ?”, tanyanya di seberang sana
“Kemana ?”, jawab ku pura-pura tidak tahu.
“Ke Gramed, oon”, jawabnya kesal
“Hahaha, iya iya. Aku mandi dulu”.
“Iyah, cepetan. Bentar lagi aku jemput”.
“Oke”, ku putuskan sambungan telepon.
Dengan
langkah gontai dan malas ku sambar handuk dan langsung mandi. Riuh kos
hari ini seperti biasa, bersuara seperti pasar ikan.
Cinta laksana hujan di gurun pasir
Hangat seperti cahaya mentari pagi
Lembut seperti salju
Dan mematikan seperti air
Tumpukan
novel dan buku filsafah yang baru saja di beli hari ini ku biarkan
bertumpuk di atas tempat tidur di sebelah ku berbaring dengan setengah
badan di atas tempat tidur. Sungguh hari yang melelahkan. Ku rogoh saku
celana ku, dan mulai mengetik di aplikasi whatsapp.
“hey”, sapa ku
“iya”, jawabnya
“kamu lagi ngapain?”
“Duduk sama keluarga. Kamu ?”
“Lagi baring, baru sampe rumah. Cape banget seharian jalan sama Imel”.
“Oh, gimana tadi ?”
“Biasa aja”.
“Ada yang mau aku omongin, penting”
“Ya udah, omongin aja”
“Aku kesana sekarang”
“Oke”, jawab ku menutup percakapan.
Segera ku basuh wajah ku dan mengganti baju. Tak lama kemudian Yusuf-ku datang.
“Hey”, sapa ku dengan senyuman yang dibalas dengan senyuman kecut di wajahnya yang tampan.
“Kamu kenapa ?”, aku bertanya memastikan.
“Aku mau ngomong penting sama kamu”.
“Iya, aku tau, bilang aja. Kenapa?”, perasaan ku mulai tidak karuan.
“Aku sayang sama kamu”, katanya.
Ku tatap sendu matanya yang sayu, ku letakkan telapak tangan kanan ku di pipi kirinya,
“Aku juga sayang kamu, banget”, jawab ku.
“But
I cant convert”, seketika hati ku hancur mendengarnya. Terulang kembali
di memori ku ketika dia bilang akan pindah agama dan menikahi ku. Semua
mimpi yang tlah kami rajut, seolah sirna. Aku mencoba untuk tetap
tenang dan menguasai diri.
Aku duduk di kursi dan mempersilakannya untuk duduk di kursi hadapan ku.
“Hmmm, oke. Tolong jelasin ke aku”, tegas ku.
“Kalo
aku pindah agama, aku harus meninggalkan semuanya untuk kamu terutama
keluarga dan pandangan-pandangan ku. Kamu tau kan aku ga percaya dengan
Tuhan”, jawaban yang bertubi menusuk hati ku.
“Oke. Sekarang kamu mahunya gimana ?”
“Kamu
tahu kan gimana rasa sayang aku ke kamu. Aku ga mau kehilangan kamu.
Mungkin aku bisa ninggalin keluarga dan semuanya untuk kamu. Tapi
meninggalkan pandangan-pandangan ku. Itu hal tersulit. Look, I promise
you. Aku akan mencintai kamu segenap hati aku, aku akan setia sama kamu,
aku akan menjaga mu dengan baik. Tapi ku mohon, pergi lah bersama ku. I
really cant convert”, ajakannya benarbenar meluluh lantakkan hati ku.
Sholat
ku, puasa ku, Nabi ku dan Tuhan ku. Haruskah aku meninggalkan semua itu
demi seorang lelaki Atheis ? batin ku menggumam. Tidak.
“Kamu belum cukup belajar”, kata ku.
“Aku rasa aku sudah cukup belajar, dan tetap saja aku tidak bisa”.
“Oke aku ngerti”, jawaban terakhir ku.
“Aku cape banget, mahu istirahat”, aku berusaha untuk menyuruhnya pulang.
“Hmm, oke aku pulang”.
“Oke”, ku tunggu sampai punggung nya tidak terlihat lagi.
Aku
masuk ke kamar. Ku abaikan teman-teman sekos ku yang memanggil. Karena
memang lagi bad mood untuk berbicara. Ku kunci pintu kamar dan mulai
menangis. Yusuf, nama yang ku berikan setelah kami berbaikan kembali
pasca putus. Dia berjanji akan masuk islam dan menikahi ku. Malam ini
mendung, kelam. Rintik-rintik hujan menemani aku dalam kemelut malam
ini. Bayang-bayang impian dan perencaan setelah menikah yang tlah
terajut muncul dalam benakku bagai momok yang menakutkan dan menambah
pilu hati yang sembilu. Aku larut dalam lelah dan tangis.
Cinta,
Apakah cinta ?
Apakah benar ada cinta yang tak harus memiliki ?
Tapi mengapa cinta bila tak dapat hidup bersama ?
Takdir, benarkah ada ?
Tuhan,
Bila Kau memang ada,
Satu pinta ku,
Tunjukkan eksistensi Mu padanya
Senin, hari ini aku aku merasa tidak enak bada. Seluruh tubuh ku lemas. Aku hanya tiduran di kamar saja.
Aku percaya akan takdir
Aku percaya akan harapan
Aku juga percaya dengan keyakinan ku
Aku yakin dia akan mengenal-Mu
Sebulan,
dua bulan tidak ada kabar darinya. Aku masih menunggu dan berharap
untuk keyakinan ku. Aku tahu Tuhan akan mendengarnya. Bukankah aku hanya
harus sabar dan pasrah.
Setahun berlalu tak jua ku dapatkan kabar
darinya. Aku mulai lemah. Ibu ku menjodohkan aku dengan anak temannya
seorang pemilik Bank ternama di kota ku. Aku menolak, masih demi
keyakinan ku. Ibu memohon agar aku mau menemuinya sekali saja. Aku tak
tega melihat ibu seperti itu dan akhirnya ku sanggupi untuk bertemu
dengannya.
Bila cinta ini suci dan apa adanya
Maka ia akan kembali
Bukan seperti pungguk merindukan bulan
Tetapi seperti mentari yang selalu kembali ke peraduannya
Wajahnya
putih bersih, kelihatan berwibawa dengan kemeja biru dan jeans yang di
kenakannya. Rambut lurus yang di sisir rapi, menambah kedewasaan yang
terpancar dari dirinya. Namanya Hasan. Aku hanya diam selama proses
pengenalan. Hanya menjawab yang seperlunya. Bila tidak ingin menjawab
aku hanya tersenyum. Ku layangkan wajah pada mawar merah liar yang tetap
dijaga agar terlihat indah di depan restoran ini. Hmm, Yusuf. Masih
teringat di saat dia memberikan mawar itu di hari jadi kami yang
pertama. Tepukan ibu di pundak ku membuyarkan lamunan ku. Ternyata
waktunya sudah selesay, syukurlah aku membatin.
Apakah cinta harus menunggu ?
Bila iya, meski sampai kapan ?
Sesosok
yang sangat aku kenal, tiba-tiba muncul di hadapan ku. Mata belok ku
hampir keluar saking terkejutnya. Yusuf. Ia berdiri di hadapan ku dengan
senyum manis yang mengembang. Jantung ku berdetak hebat, aku salah
tingkah dan mulai gelagapan, dengan cepat aku berusaha menguasai diri.
Ada yang berbeda, wajahnya terlihat tenang, lebih teduh. Hari ini dia
bercerita banyak pada ku bagaimana ia bisa bertemu dengan seorang ustad
saat ia kecelakaan di malam perpisahan kami yang membuatnya sempat
mengalami amnesia. Dan selama 6 bulan perawatan intensif di rumah sakit
akhirnya ia memperoleh ingatannya sedikit demi sedikit hingga semua
ingatannya kembali. Dan selama 6 bulan terakhir ini ia belajar islam di
pondok pesantren yang di kelola oleh ustad itu. Dan kabar baik yang ia
berikan pada ku adalah ia akan melamar ku besok kepada orang tua ku.
Tuhan, mungkin ini semua jawaban dari penantian ku. Aku tak sabar
menanti hari esok.
Aku grogi sekali untuk menghadapi malam ini. Aku
sudah membicarakan kepada ayah dan ibu mengenai lamaran Yusuf, dan
mereka bilang kalau memang itu pilihan ku, maka mereka akan merestui.
Detik demi detik berlalu sangat lamban. Aku sangat menantikan malam ini.
Akhirnya senja pun menjelang dan malam mulai dating, Yusuf sedang di
jalan menuju rumah ku. Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Jam 7
berlalu, dia masih belum datang, jam 8 lewat aku mulai khawatir, jam 9
malam ia tak jua sampai. Aku mulai kalut. Dia tak datang. Hati ku
hancur, lagi.
Ibu mendatangi ku di kamar dengan tatapan sedih.
Mungkin karena beliau mengerti yang ku rasakan. Kemudian mengulurkan
sehelai kertas yang terlipat pada ku. Kertas itu bernoda, kehitaman,
seperti bercak darah yang membeku. Ku buka lipatan itu. Cincin jatuh di
pangkuan ku. Kemudian ku baca pesannya.
“Bila tiba masanya kau akan
datang menyusul ku. Ingatlah, di suatu sudut di dunia yang berbeda, ada
cinta yang selalu menanti mu. Yusuf”.
Ku kenakan cincin itu dengan
segenap tenaga yang ku miliki, bibir ini tak mampu mengucapkan sepatah
kata, hati ini pun tak mampu membendung air mata yang jatuh.
“Dia menulisnya ketika di rumah sakit, jenazahnya akan dikebumikan siang ini”, Kata Ibu.
Dia mengalami kecelakaan ketika di jalan menuju rumah kita nak”, Ibu melanjutkan sambil mendekap ku dan membelai rambut ku.
Aku hanya diam membisu, menangis dalam kesunyian.
Tuhan, bila memang aku dan dia
Tidak diciptakan bersama di dunia ini
Satukan cinta kami dalam keabadian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar