Kamis, 30 Mei 2013

kekerasan seksual



KEKERASAN SEKSUAL DAN PERKOSAAN PADA ANAK PEREMPUAN

A.    Latar Belakang
Maraknya kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak khususnya anak perempuan menyebabkan keresahan bagi masyarakat terutama orangtua yang memiliki anak perempuan.
 Jumlah kekerasan yang terjadi meningkat dari tahun ke tahun. Komnas Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan pada anak tahun 2012. Pada tahun sebelumnya tercatat 2.413 kasus. Kebanyakan korban kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5 hingga 11 tahun. Modus pelaku dalam mendekati korban sangatlah berfariasi misalnya mereka tinggal mendekati korban dan mengajak ngobrol saja, ada juga yang membujuk korban, ada juga yang merayu dan ada juga yang memaksa korbanya. Serta modus yang lebih canggih yakni pelaku menggunakan jejaring sosial dengan berkenalan dengan korban, mengajak bertemu dan memperkosa atau melakukan kekerasan seksual.

B.     Penegasan Fenomena
Pelecehan seksual atau kekerasan seksual pada anak adalah suatu bentuk penyiksaan terhadap anak yang digunakan oleh orang dewasa atau remaja yang lebih tua untuk menggunakan anak sebagai rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan gambaran tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan kelamin anak-anak.
Pelecehan seksual yang terjadi pada anak memang tidak sesederhana dampak psikologisnya. Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek -obyek atau orang-orang lain. Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban juga depresi, gangguan stres pasca trauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya. Pelecehan seksual oleh anggota keluarga adalah bentuk inses yang dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam inses orangtua.

C.    Tinjauan Teoritis
Kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual berhubungan dengan tingkat gejala disosiatif yang meliputi amnesia untuk ingatan terhadap tindak kekerasan. Tingkat disosiasi ini telah ditemukan berhubungan dengan laporan pelecehan seksual yang luar biasa. Ketika pelecehan seksual yang berat telah terjadi, gejala disosiatif bahkan menonjol.
Gangguan stres yang di alami korban pelecehan seksual sering di sebut dengan Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD). PTSD  adalah gangguan kecemasan parah yang dapat berkembang setelah terjadi setiap peristiwa yang menyebabkan trauma psikologis. Kejadian ini dapat memicu ancaman kematian diri sendiri maupun orang lain bahkan merusak potensi integritas fisik, seksual atau psikologis individu. Setelah sekitar satu bulan, individu yang telah mengalami peristiwa traumatis mungkin mulai menunjukkan simptom PTSD yang menempatkan individu pada rangkaian situasi yang kronis dan tak kunjung hilang. Hal-hal yang mengingatkan kembali pada trauma, baik yang terdapat dalam pikiran individu ataupun lingkungannya yang dapat membangkitkan level stres yang sangat kuat secara psikologis maupun fisiologis. Simptom ini dirasa sangat menyakitkan sehingga orang yang mengalami PTSD ini dengan sengaja mengambil langkah untuk menghindari segala sesuatu yang dapat mengingatkan mereka pada trauma.
Persperktif Biologis
Para peneliti memformulasikan teori bahwa sekali pengalaman traumatis terjadi, bagian sistem saraf individu menjadi sangat sensitif terhadap kemungkinan terjadinya bahaya di masa depan. Jalur subkorteks di pusat sistem saraf, sebagaimana struktur dalam sistem saraf simpatetik, secara permanen peka terhadap tanda-tanda munculnya ancaman. PTSD sebagai akibat terjadinya trauma cenderung memiliki suatu predisposisi dalam bentuk respon berulang yang berlebihan. Bahkan, struktur otak pun dapat berubah akibat suatu trauma.
Perspektif Psikologis
Para klinisi merekomendasikan psikoterapi berkelanjutan tidak hanya untuk mengatasi masalah emosional, tetapi juga untuk memonitor bagaimana reaksi individu terhadap pengobatan medis.

D.    Analisis
Efek pada kerusakan psikologi yang dapat terjadi antara lain adalah dapat terjadinya psikopatologi di kemudian hari. Dampak psikologis pada emosional, fisik dan sosialnya meliputi depresi, ganggaun stress pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa rendah diri yang buruk, gangguan identitas pribadi, gangguan psikologis yang umum seperti somatisasi, sakit saraf, sakit kronis, masalah sekolah atau belajar dan masalah perilaku termasuk penyalahgunaan obat terlarang, perilaku menyakiti diri sendiri, kekejaman terhadap hewan, dan bunuh diri. Hasil studi menunjukkan adanya hubungan sebab dan akibat dari pelecehan seksual di masa kanak-kanak dengan kasus psikopatologi dewasa termasuk kecenderungan bunuh diri, kelakuan anti-sosial, gangguan kejiwaan pasca trauma, kegelisahan dan kecanduan alkohol. Studi yang membandingkan perempuan yang mengalami pelecehan seksual masa kanak-kanak di banding yang tidak, menghasilkan fakta bahwa mereka membutuhkan biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi daripada yang tidak.

E.     Rencana Intervensi
Untuk mengatasi agar pelecehan seksual ini terjadi lagi pada anak-anak lain, orang tua perlu mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menjelaskan mengenai seksualitas. Hal ini dilakukan agar anak tidak mencari informasi yang salah dalam pemenuhan rasa ingin tahunya. Langkah-langkah tersebut adalah :

1.      Mendengarkan dengan cermat setiap pertanyaan anak. Posisi duduk sebaiknya sejajar, tatap mata anak agar anak merasa dirinya diperhatikan.
2.      Jangan menghindari atau mengabaikan pertanyaan anak. Jawablah segera mungkin pertanyaan anak. Menunda jawaban berarti membuang kesempatan emas berbicara mengenai seks dengan anak. Namun bila orangtua belum siap menjawab maka katakan dengan jujur kepada anak bahwa orangtua akan mencari tahu jawabannya terlebih dahulu.
3.      Berilah jawaban hanya pada pertanyaan yang lai bila orangtua bingung dengan pertanyaan anak ada baiknya bertanya kepada anak tentang maksud pertanyaannya. Seperti ketika anak bertanya mengenai seks, bukan berarti anak sudah mengerti mengenai seks seperti yang dipikirkan oleh orang dewasa. Anak-anak belum mengerti konsep yang abstrak. Mereka akan mempertanyakan istilahistilah yang mereka dengar atau lihat dari televisi, internet, dll.
4.      Berikan penjelasan yang sederhana dan singkat dengan bahasa yang mudah dimengerti anak seperti ketika anak bertanya mengenai puting payudara itu apa, jawablah puting payudara adalah tempat dimana adik bayi mengisap susu dari payudara ibu. Ketika anak bertanya mengapa “punya laki-laki” berbeda dengan “punyaku”. Jawablah dengan istilah yang tepat seperti alat kelamin laki-laki itu berbeda dengan alat kelamin perempuan. Alat kelamin laki-laki disebut penis sedangkan alat kelamin perempuan disebut vagina. Bukan dengan istilah-istilah seperti “burung”, “dompet”, dll.
5.   Berikan jawaban dengan nada bicara dan ekspresi muka yang wajar. Jangan merasa tertekan ketika menjawab pertanyaan. Merespon dengan ekspresi wajah terkejut, muka memerah, dan mata terbelalak akan menimbulkan kesan pada anak bahwa pertanyaan yang diajukan salah dan bukan sesuatu yang wajar. Misalnya ketika anak bertanya mengenai kondom. Jawablah dengan tenang bahwa kodom itu adalah alat kesehatan  yang dipakai ayah atau laki-laki yang sudah dewasa untuk mencegah kehamilan.
6.   Berikan jawaban yang sesuai dengan usia dan kebutuhan anak. Jawaban diberikan bertahap sesuai dengan kemampuan berpikir dan berdasarkan pengalaman dan logika yang dipahami anak. Misalnya jika anak prasekolah (usia4 - 6 tahun) tanpa sengaja melihat hubungan seksual yang dilakukan oleh orangtuanya dan kemudian bertanya semalam ibu dan ayah sedang apa? Kok bermain kudakudaan? Jawablah itu bukan main kuda-kudaan, tetapi itu cara untuk mengungkapkan kasih sayang dan cinta antara ayah dan ibu. Itu hanya dilakukan oleh suami-istri yang sudah dewasa, bukan oleh anak-anak.
7.   Berikan informasi bertahap dan terus-menerus agar anak dapat menyerap informasi dengan baik dan tertanam dalam pikirannya sehingga dapat menjadi bekalnya kelak.
8.   Gunakan media dan metode yang beragam agar anak tidak bosan. Misalnya dengan bercerita, membaca, menggambar, menonton DVD pendidikan anak, berdiskusi, bermain peran. Media bergambar sangat disarankan agar anak mudah mengerti dan memahami apa yang dijelaskan.
9.   Suasana dialog yang tenang sangat penting dalam membicarakan seksualitas dengan anak karena akan membantu anak mendapatkan pemahaman seks yang benar dari berbagai sudut pandang.
Berikut adalah tips mendidik dan menjaga anak dari korban kekerasan seksual.
a.       Sedini mungkin anak harus dikenalkan pada anggota tubuhnya sendiri sehingga dia dapat menjelaskan dengan tepat apa yang terjadi pada dirinya; jelaskan mana bagian tubuhnya yang boleh diperlihatkan atau dipegang oleh orang lain dan mana yang tidak.
b.      Anak harus dibiasakan untuk menolak perlakuan orang lain yang menyebabkan dia merasa tidak nyaman/terganggu/sakit. Kalau ada perlakuan yang tak wajar terhadap dirinya, anak dibiasakan untuk segera bercerita kepada orang tua, guru, atau keluarga yang lain. Anak juga harus dilatih agar tidak mudah percaya pada orang lain atau diajak main di tempat yang sepi.
c.       Hindari memakaikan aksesori yang terdapat nama anak saat ia berada di sekolah ataupun bermain di luar rumah. Bisa saja ada orang yang menghampiri dan menyebutkan namanya, kemudian berkata bahwa ia disuruh orangtua untuk menjemputnya. Anak pun bisa langsung menurutinya karena merasa orang asing itu mengenalinya.
Untuk anak yang menjadi korban kekerasan seksual, hal yang perlu dilakukan adalah :
a.       Pada umumnya anak tidak langsung bercerita kepada orangtua atas kejadian yang dialami. Namun hal tersebut dapat tampak dari perubahan perilaku pada anak seperti menjadi penakut, ingin terus ditemani, tidak mau makan, susah tidur, mudah marah, mengalami sakit pada alat kelamin, menghindari buang air kecil, menjadi pemalu, maupun menarik diri dari lingkungan. Amati dengan cermat perubahan perilaku pada anak dan tanyai anak dalam situasi yang tenang dan tidak menekan maupun memaksa. Percayailah apa yang dikatakan oleh anak. Berilah perasaan nyaman dan dukungan kepada anak atas apa yang telah dikatakannya. Bila anak belum mau bercerita, mungkin ia masih belum siap. Bersabarlah dan gunakan metode yang lain, tidak bertanya secara langsung, seperti gunakan media boneka atau gambar. Anak akan lebih mudah mengungkapkan hal yang dialami lewat media  bermain karena ia tidak merasa terancam.
b.      Bila sudah mengetahui apa yang dialami anak, jangan menyalahkan ataupun memarahi anak atas peristiwa yang terjadi. Melainkan segeralah lapor ke unit pengaduan perempuan dan anak (unit PPA) Polres atau POLDA dan lakukanlah visum.
c.       Dampingi anak dan tekankan pada anak bahwa pelakulah yang salah bukan dirinya. Yakinkan anak bahwa mereka tidak berhak disakiti dan bukan mereka yang menyebabkan peristiwa itu terjadi.
d.      Segeralah bawa anak ke lembaga konseling seperti Yayasan PULIH untuk mendapatkan dukungan psikologis atas kekerasan seksual yang dialami di nomor hotline 088-8181-6860 atau 021-982-86398.
e.       Pahami anak bahwa ia membutuhkan waktu dan proses yang lama untuk pemulihan. Anak dapat menunjukkan berbagai macam reaksi meskipun peristiwanya sudah berlangsung lama. Bersabarlah karena dukungan orangtua sangat diperlukan dalam proses pemulihan anak.

F.     Kesimpulan
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual secara fisik maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat mendalam
dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak -anak dan remaja. Kejadian traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu PTSD. Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung seberapa parah kejadian tersebut mem -pengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau pelecehan
seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak merasa
tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebel um kejadian trauma. Dan
pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode -metode yang benar sehingga dalam
menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan -tekanan baru yang
diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.                                  

DAFTAR PUSTAKA
Halgin, Richard P dan Whitbourne.2010.Psikologi Abnormal.Jakarta: Salemba Humanika
Wardhani, Yurika F dan Lestari, Weny. Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban Pelecehan Seksual dan Perkosaan. PDF:Surabaya
Doni dan Mira. Kekerasan Seksual Pada Anak. PDF. Jakarta:Pulih
Kristiani, Reneta, Psi,Msi. Haruskah Anak Kita Menjadi Korban ?.PDF. Jakarta:Pulih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar