KEKERASAN SEKSUAL DAN PERKOSAAN PADA
ANAK PEREMPUAN
A.
Latar
Belakang
Maraknya
kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak khususnya anak perempuan
menyebabkan keresahan bagi masyarakat terutama orangtua yang memiliki anak
perempuan.
Jumlah kekerasan yang terjadi meningkat dari
tahun ke tahun. Komnas Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan pada anak
tahun 2012. Pada tahun sebelumnya tercatat 2.413 kasus. Kebanyakan korban
kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5 hingga 11 tahun. Modus pelaku
dalam mendekati korban sangatlah berfariasi misalnya mereka tinggal mendekati
korban dan mengajak ngobrol saja, ada juga yang membujuk korban, ada juga yang
merayu dan ada juga yang memaksa korbanya. Serta modus yang lebih canggih yakni
pelaku menggunakan jejaring sosial dengan berkenalan dengan korban, mengajak
bertemu dan memperkosa atau melakukan kekerasan seksual.
B.
Penegasan
Fenomena
Pelecehan
seksual atau kekerasan seksual pada anak adalah suatu bentuk penyiksaan
terhadap anak yang digunakan oleh orang dewasa atau remaja yang lebih tua untuk
menggunakan anak sebagai rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak
termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual,
memberikan gambaran tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, melakukan
hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan kelamin anak-anak.
Pelecehan
seksual yang terjadi pada anak memang tidak sesederhana dampak psikologisnya.
Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya
ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek
-obyek atau orang-orang lain. Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan
efek trauma yang mendalam pada korban juga depresi, gangguan stres pasca
trauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa
dewasa, dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya. Pelecehan
seksual oleh anggota keluarga adalah bentuk inses yang dapat menghasilkan
dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam
inses orangtua.
C.
Tinjauan
Teoritis
Kekerasan
terhadap anak, khususnya kekerasan seksual berhubungan dengan tingkat gejala
disosiatif yang meliputi amnesia untuk ingatan terhadap tindak kekerasan.
Tingkat disosiasi ini telah ditemukan berhubungan dengan laporan pelecehan
seksual yang luar biasa. Ketika pelecehan seksual yang berat telah terjadi,
gejala disosiatif bahkan menonjol.
Gangguan
stres yang di alami korban pelecehan seksual sering di sebut dengan Gangguan
Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress
Disorder atau PTSD). PTSD adalah
gangguan kecemasan parah yang dapat berkembang setelah terjadi setiap peristiwa
yang menyebabkan trauma psikologis. Kejadian ini dapat memicu ancaman kematian
diri sendiri maupun orang lain bahkan merusak potensi integritas fisik, seksual
atau psikologis individu. Setelah sekitar satu bulan, individu yang telah
mengalami peristiwa traumatis mungkin mulai menunjukkan simptom PTSD yang
menempatkan individu pada rangkaian situasi yang kronis dan tak kunjung hilang.
Hal-hal yang mengingatkan kembali pada trauma, baik yang terdapat dalam pikiran
individu ataupun lingkungannya yang dapat membangkitkan level stres yang sangat
kuat secara psikologis maupun fisiologis. Simptom ini dirasa sangat menyakitkan
sehingga orang yang mengalami PTSD ini dengan sengaja mengambil langkah untuk menghindari
segala sesuatu yang dapat mengingatkan mereka pada trauma.
Persperktif Biologis
Para
peneliti memformulasikan teori bahwa sekali pengalaman traumatis terjadi, bagian
sistem saraf individu menjadi sangat sensitif terhadap kemungkinan terjadinya
bahaya di masa depan. Jalur subkorteks di pusat sistem saraf, sebagaimana
struktur dalam sistem saraf simpatetik, secara permanen peka terhadap
tanda-tanda munculnya ancaman. PTSD sebagai akibat terjadinya trauma cenderung
memiliki suatu predisposisi dalam bentuk respon berulang yang berlebihan.
Bahkan, struktur otak pun dapat berubah akibat suatu trauma.
Perspektif Psikologis
Para
klinisi merekomendasikan psikoterapi berkelanjutan tidak hanya untuk mengatasi
masalah emosional, tetapi juga untuk memonitor bagaimana reaksi individu
terhadap pengobatan medis.
D.
Analisis
Efek
pada kerusakan psikologi yang dapat terjadi antara lain adalah dapat terjadinya
psikopatologi di kemudian hari. Dampak psikologis pada emosional, fisik dan
sosialnya meliputi depresi, ganggaun stress pasca trauma, kegelisahan, gangguan
makan, rasa rendah diri yang buruk, gangguan identitas pribadi, gangguan psikologis
yang umum seperti somatisasi, sakit saraf, sakit kronis, masalah sekolah atau
belajar dan masalah perilaku termasuk penyalahgunaan obat terlarang, perilaku
menyakiti diri sendiri, kekejaman terhadap hewan, dan bunuh diri. Hasil studi
menunjukkan adanya hubungan sebab dan akibat dari pelecehan seksual di masa
kanak-kanak dengan kasus psikopatologi dewasa termasuk kecenderungan bunuh diri,
kelakuan anti-sosial, gangguan kejiwaan pasca trauma, kegelisahan dan kecanduan
alkohol. Studi yang membandingkan perempuan yang mengalami pelecehan seksual
masa kanak-kanak di banding yang tidak, menghasilkan fakta bahwa mereka
membutuhkan biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi daripada yang tidak.
E.
Rencana
Intervensi
Untuk
mengatasi agar pelecehan seksual ini terjadi lagi pada anak-anak lain, orang
tua perlu mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menjelaskan
mengenai seksualitas. Hal ini dilakukan agar anak tidak mencari informasi yang
salah dalam pemenuhan rasa ingin tahunya. Langkah-langkah tersebut adalah :
1. Mendengarkan
dengan cermat setiap pertanyaan anak. Posisi duduk sebaiknya sejajar, tatap
mata anak agar anak merasa dirinya diperhatikan.
2. Jangan
menghindari atau mengabaikan pertanyaan anak. Jawablah segera mungkin
pertanyaan anak. Menunda jawaban berarti membuang kesempatan emas berbicara
mengenai seks dengan anak. Namun bila orangtua belum siap menjawab maka katakan
dengan jujur kepada anak bahwa orangtua akan mencari tahu jawabannya terlebih
dahulu.
3. Berilah
jawaban hanya pada pertanyaan yang lai bila orangtua bingung dengan pertanyaan
anak ada baiknya bertanya kepada anak tentang maksud pertanyaannya. Seperti
ketika anak bertanya mengenai seks, bukan berarti anak sudah mengerti mengenai
seks seperti yang dipikirkan oleh orang dewasa. Anak-anak belum mengerti konsep
yang abstrak. Mereka akan mempertanyakan istilahistilah yang mereka dengar atau
lihat dari televisi, internet, dll.
4. Berikan
penjelasan yang sederhana dan singkat dengan bahasa yang mudah dimengerti anak
seperti ketika anak bertanya mengenai puting payudara itu apa, jawablah puting
payudara adalah tempat dimana adik bayi mengisap susu dari payudara ibu. Ketika
anak bertanya mengapa “punya laki-laki” berbeda dengan “punyaku”. Jawablah
dengan istilah yang tepat seperti alat kelamin laki-laki itu berbeda dengan
alat kelamin perempuan. Alat kelamin laki-laki disebut penis sedangkan alat
kelamin perempuan disebut vagina. Bukan dengan istilah-istilah seperti
“burung”, “dompet”, dll.
5. Berikan
jawaban dengan nada bicara dan ekspresi muka yang wajar. Jangan merasa tertekan
ketika menjawab pertanyaan. Merespon dengan ekspresi wajah terkejut, muka
memerah, dan mata terbelalak akan menimbulkan kesan pada anak bahwa pertanyaan
yang diajukan salah dan bukan sesuatu yang wajar. Misalnya ketika anak bertanya
mengenai kondom. Jawablah dengan tenang bahwa kodom itu adalah alat
kesehatan yang dipakai ayah atau laki-laki
yang sudah dewasa untuk mencegah kehamilan.
6. Berikan
jawaban yang sesuai dengan usia dan kebutuhan anak. Jawaban diberikan bertahap
sesuai dengan kemampuan berpikir dan berdasarkan pengalaman dan logika yang
dipahami anak. Misalnya jika anak prasekolah (usia4 - 6 tahun) tanpa sengaja melihat
hubungan seksual yang dilakukan oleh orangtuanya dan kemudian bertanya semalam
ibu dan ayah sedang apa? Kok bermain kudakudaan? Jawablah itu bukan main
kuda-kudaan, tetapi itu cara untuk mengungkapkan kasih sayang dan cinta antara
ayah dan ibu. Itu hanya dilakukan oleh suami-istri yang sudah dewasa, bukan
oleh anak-anak.
7. Berikan
informasi bertahap dan terus-menerus agar anak dapat menyerap informasi dengan baik
dan tertanam dalam pikirannya sehingga dapat menjadi bekalnya kelak.
8. Gunakan
media dan metode yang beragam agar anak tidak bosan. Misalnya dengan bercerita,
membaca, menggambar, menonton DVD pendidikan anak, berdiskusi, bermain peran.
Media bergambar sangat disarankan agar anak mudah mengerti dan memahami apa
yang dijelaskan.
9. Suasana
dialog yang tenang sangat penting dalam membicarakan seksualitas dengan anak
karena akan membantu anak mendapatkan pemahaman seks yang benar dari berbagai
sudut pandang.
Berikut adalah tips
mendidik dan menjaga anak dari korban kekerasan seksual.
a. Sedini
mungkin anak harus dikenalkan pada anggota tubuhnya sendiri sehingga dia dapat
menjelaskan dengan tepat apa yang terjadi pada dirinya; jelaskan mana bagian
tubuhnya yang boleh diperlihatkan atau dipegang oleh orang lain dan mana yang
tidak.
b. Anak
harus dibiasakan untuk menolak perlakuan orang lain yang menyebabkan dia merasa
tidak nyaman/terganggu/sakit. Kalau ada perlakuan yang tak wajar terhadap
dirinya, anak dibiasakan untuk segera bercerita kepada orang tua, guru, atau
keluarga yang lain. Anak juga harus dilatih agar tidak mudah percaya pada orang
lain atau diajak main di tempat yang sepi.
c. Hindari
memakaikan aksesori yang terdapat nama anak saat ia berada di sekolah ataupun
bermain di luar rumah. Bisa saja ada orang yang menghampiri dan menyebutkan
namanya, kemudian berkata bahwa ia disuruh orangtua untuk menjemputnya. Anak
pun bisa langsung menurutinya karena merasa orang asing itu mengenalinya.
Untuk
anak yang menjadi korban kekerasan seksual, hal yang perlu dilakukan adalah :
a. Pada
umumnya anak tidak langsung bercerita kepada orangtua atas kejadian yang
dialami. Namun hal tersebut dapat tampak dari perubahan perilaku pada anak
seperti menjadi penakut, ingin terus ditemani, tidak mau makan, susah tidur,
mudah marah, mengalami sakit pada alat kelamin, menghindari buang air kecil,
menjadi pemalu, maupun menarik diri dari lingkungan. Amati dengan cermat
perubahan perilaku pada anak dan tanyai anak dalam situasi yang tenang dan
tidak menekan maupun memaksa. Percayailah apa yang dikatakan oleh anak. Berilah
perasaan nyaman dan dukungan kepada anak atas apa yang telah dikatakannya. Bila
anak belum mau bercerita, mungkin ia masih belum siap. Bersabarlah dan gunakan
metode yang lain, tidak bertanya secara langsung, seperti gunakan media boneka
atau gambar. Anak akan lebih mudah mengungkapkan hal yang dialami lewat
media bermain karena ia tidak merasa
terancam.
b. Bila
sudah mengetahui apa yang dialami anak, jangan menyalahkan ataupun memarahi
anak atas peristiwa yang terjadi. Melainkan segeralah lapor ke unit pengaduan
perempuan dan anak (unit PPA) Polres atau POLDA dan lakukanlah visum.
c. Dampingi
anak dan tekankan pada anak bahwa pelakulah yang salah bukan dirinya. Yakinkan
anak bahwa mereka tidak berhak disakiti dan bukan mereka yang menyebabkan
peristiwa itu terjadi.
d. Segeralah
bawa anak ke lembaga konseling seperti Yayasan PULIH untuk mendapatkan dukungan
psikologis atas kekerasan seksual yang dialami di nomor hotline 088-8181-6860
atau 021-982-86398.
e. Pahami
anak bahwa ia membutuhkan waktu dan proses yang lama untuk pemulihan. Anak
dapat menunjukkan berbagai macam reaksi meskipun peristiwanya sudah berlangsung
lama. Bersabarlah karena dukungan orangtua sangat diperlukan dalam proses
pemulihan anak.
F.
Kesimpulan
Ketika
seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual secara fisik maupun
psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam
dalam
diri seseorang tersebut terutama pada anak -anak dan remaja. Kejadian traumatis
tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu PTSD. Tingkatan
gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung seberapa parah kejadian
tersebut mem -pengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk
menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau pelecehan
seksual
diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak
merasa
tertekan
lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebel um kejadian trauma. Dan
pendampingan
itu sendiri juga harus dengan metode -metode yang benar sehingga dalam
menjalani
penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan -tekanan baru yang
diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Halgin, Richard P dan
Whitbourne.2010.Psikologi Abnormal.Jakarta: Salemba Humanika
Wardhani,
Yurika F dan Lestari, Weny. Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban Pelecehan
Seksual dan Perkosaan. PDF:Surabaya
Doni
dan Mira. Kekerasan Seksual Pada Anak. PDF. Jakarta:Pulih
Kristiani,
Reneta, Psi,Msi. Haruskah Anak Kita Menjadi Korban ?.PDF. Jakarta:Pulih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar